MKD Menjaga dan Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat DPR
Wakil Ketua MK DPR RI, Adies Kadir bersama Wakil Ketua DPR RI/Korkesra, Fahri Hamzah (F-PKS)/Foto:Andri/Iw
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Adies Kadir menjelaskan bahwa MKD bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR. Sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 119 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,DPRD (MD3), MKD bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR.
“Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, MKD bertugas menegakkan Kode Etik DPR RI. Penegakkan Kode Etik DPR RI yang dilakukan oleh MKD menggunakan pendekatan sistem pencegahan dan penindakan,” ujar Adies dalam siaran Persnya di Jakart, Selasa (20/3/2018).
Dilanjutkannya, Sistem Pencegahan sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (3) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD.
Sedangkan, Sistem Penindakan sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (4) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik, dilakukan oleh MKD berdasarkan Peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Beracara MKD. Proses Penindakan dilakukan atas Pelanggaran Kode Etik DPR dimulai dari proses verifikasi, penyelidikan baik sebelum sidang maupun pada saat sidang, sampai dengan penetapan putusan terhadap anggota DPR RI terbukti atau tidak terbukti melanggar.
Putusan MKD sebagaimana dimaksud Pasal 147 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3 juncto Pasal 56 Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Beracara MKD mengandung substansi 2 (dua) hal yaitu putusan dengan amar terbukti melanggar Kode Etik dan putusan dengan amar tidak terbukti melanggar Kode Etik.
Sehubungan dengan amar putusan terbukti melanggar Kode Etik memiliki kedudukan yang berbeda antara putusan dengan amar terbukti melanggar dengan sanksi pemberhentian sementara atau tetap, dan putusan dengan amar terbukti melanggar dengan sanksi tidak memberhentikan sementara atau tetap (sanksi ringan berupa teguran lisan atau tertulis dan sanksi sedang berupa pemberhentian jabatan sebagai pimpinan DPR/AKD atau pemindahan anggota dari AKD yang satu ke AKD yang lain).
Putusan dengan sanksi ringan dan sedang, serta putusan dengan sanksi pemberhentian sementara memiliki kekuatan Final and Binding, sedangkan putusan dengan sanksi berat (pemberhentian tetap) tidak bersifat Final and Binding, melainkan harus mendapatkan persetujuan Paripurna.
“Putusan MKD yang berisikan amar terbukti melanggar Kode Etik dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) jika ditemukan bukti baru atau adanya ketidaksesuaian keadaan dimana dasar dan alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu bertentangan satu dengan yang lainnya. Permintaan Peninjauan Kembali bisa dilakukan oleh Teradu, dan/atau keluarga dari Teradu,” jelas Adies. (ayu/sc)